DEMOKRASI dan ISLAM

Posted by : Unknown | Senin, 17 November 2014 | Published in


 DEMOKRASI DAN ISLAM


I.            PENDAHULUAN
Islam merupakan agama yang telah turun temurun dibawa oleh nabi-nabi. Islam sendiri merupakan jalan yang mengantarkan para manusia untuk menuju ke jalan yang benar dan jalan menuju kebaikan. Ajaran Islam semakin pesat dan berkembang dari masa ke masa, dan adanya perkembangan itu pula sering muncul permasalahan-permasalahan yang baru yang harus bisa diselesaikan dengan jalan yang benar dan jalan yang di ridhai Allah..
Adanya permasalahan ini tentunya memerlukan pemecahan, namun di sisi lain jawaban dari permasalahan itu sering berbeda-beda, sehingga memunculkan suatu golongan-golongan yang tadinya satu menjadi beberapa golongan.
Demokrasi dan Islam di sini memunculkan pandangan baru untuk menumbuhkan suatu tujuan sama yang nantinya akan membawa Islam menjadi kesatuan utuh dan menjadi kokoh dalam mempersatukan umat. Antara demokrasi dan Islam sebenarnya mempunyai kesamaan dalam memberikan kebebasan dalam umatnya untuk bebas dalam melakukan kegiatan ataupun pekerjaan. Namun, bukan berarti terlepas dari aturan-aturan yang telah di tetapkan dalam ketentuan yang telah tertuang dalam Al-Qur’an dan hadits.

II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Apa pengertian hakiat manusia dalam Islam?
B.     Apa pengertian demokrasi dan bagaimana sejarahnya?
C.     Bagaimana keterkaitan Islam dan demokrasi?

III.            PEMBAHASAN
  A.          Hakekat Manusia Dalam Islam
Pembahasan mengenai manusia merupakan kajian yang selalu menarik. Sejak dulu sampai sekarang manusia senantiasa menjadi obyek pemikiran dan obyek studi dari berbagai macam kalangan, baik itu para filosof maupun kaum cendekiawan dari berbagai macam disiplin ilmu. Hal ini dikarenakan, manusia merupakan makhluk yang paling unik, multi dimensi dan mempunyai pola hubungan yang begitu kompleks. Sebagaimana diungkapkan oleh John Dewey, manusia oleh para sarjana barat telah dipandang dengan penuh kecurigaan, dengan takut, dengan pandangan yang asam, dan kadangkala memang dengan antusiasme terhadap kemampuannya.[1] Keunikan manusia yang membingungkan itu sedikit terobati, apabila kita memangkas semua pertanyaan yang ada pada diri kita, bahwa itulah manusia, dan kita yakin bahwa pertanyaan siapakah atau apakah manusia itu tidak akan terjawab secara tuntas. Manusia tidak hanya sebatas perkaitan badan dan ruh, tetapi lebih dari itu manusia mempunyai dimensi-dimensi lain yang lebih luas.
1.      Manusia Sebagai Makhluk Termulia
Allah membekali manusia dengan beberapa ciri tertentu yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Dengan karunia itu manusia berhak mendapat penghormatan dari mahluk lain. Dari sini tampak bahwa Islam tidak memposisikan manusia dalam kerendahan, keterpinggiran atau tidak berharga, seperti binatang, benda mati atau mahluk lainnya selama manusia tidak terlepas dari fitrah kemanusiaannya, konsisten dengan tugasnya sebagai penerima dan pelaksana ajaran Tuhan. Tetapi ada beberapa alasan mengapa manusia dipandang sebagai makhluk termulia dibandingkan dengan makhluk-makhluk ciptaan Tuhan lainnya (yang penulis ambil dari berbagai karya buku) yaitu:
a.    Manusia Memiliki Daya Akal dan Perasaan
Inilah kelebihan yang dimiliki manusia. Dengan akal dan perasaan manuisa mempunyai daya kehidupan. Daya untuk membentuk peradaban dan kebudayaan dimuka bumi ini. Dengan akal dan perasaan manusia dapat berfikir menciptakan kehidupannya sendiri.[2] Bandingkan dengan kehidupan binatang atau benda mati yang mereka hidup berbeda dengan manusia yang diberi akal dan daya pikir untuk menyelami kehidupan alam nyata ini, sebab dengan instink belaka hewan tidak mampu menguak alam ini.
b.    Manusia adalah mahluk yang cerdas
Dengan kecerdasannya manusia mampu mengendalikan dirinya dalam melaksanakan kegiatan sehari-harinya, walaupun terkadang ia membutuhkan bantuan dan pengarahan dari orang lain. Islam sangat memperhatikan kepribadian setiap muslim. dalam mempersiapkan dirinya untuk mencapai tujuan utamanya. Dalam pandangan Islam, dengan kesadaran rohaniahnya dan kemampuan intelekualnya, manusia seperti itu akan dapat mengendalikan gurauan dan keinginannya, sehingga mencapai tingkat kemampuan pengendalian diri yang tinggi yang akhirnya dapat bermanfaat bagi pelaksanaan ibadahnya dan kegiatan teknologis yang dilakasanakannya.[3]
c.       Manusia adalah Mahluk Bertanggung Jawab
Manusia menurut Al-Qur’an, menerima kebenaran Allah dan bertanggung jawab penuh atas segala tindakannya. Walau Islam berarti penyerahan diri sepenuhnya hanya kepada kehendak Allah, namun manusia tetap memiliki kebebasan untuk mengarahkan dirinya pada berbagai situasi. Segala perbuatan yang dilakukan oleh manusia didunia ini kelak dikemudian hari akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah, baik itu perbuatan baik ataupun perbuatan yang tidak diridloi oleh Allah. Sebagai khalifah di muka bumi ini, manusia diberi amanat oleh Allah untuk menjaga dan melestarikan alam ini dan tidak boleh merusaknya. Tugas tersebut memang cukup berat, namun manusia harus mampu mengembannya, kesanggupan ini bagaimanapun membawa konsekuensi khusus bagi manusia, yaitu berupa pertanggungjawaban terhadap pelaksanaan amanat yang diterimanya. Semuanya itu kemudian akan dievaluasi oleh Sang Maha Pencipta sendiri.[4]
d.        Perkembangan Bakat
Manusia adalah makhluk cerdas yang dapat memanfaatkan bakat serta kecerdasannya untuk mengembangkan kehidupannya diatas muka bumi, dan membuatnya lebih sejahtera.
Ajaran-ajaran Islam menunjukkan bahwa Islam sebagai agama universal memberikan perhatian yang besar kepada seluruh dimensi manusia baik itu fisik, material dan spiritual, mental dan emosional, sosial dan individual. Islam tidak melalaikan satupun darinya, maka Islam memberikan perhatian yang khusus kepada dimensi-dimensi itu melalui pendidikan untuk mengembangkan bakat atau potensi yang dibawa manusia. Walaupun begitu, tidak boleh terlupakan bahwa perkembangan potensi manusia juga dipengaruhi oleh faktor warisan dan pendidikan.[5] Meski kita sadar bahwa faktor pendidikan menduduki arus utama dalam perkembangan potensi manusia.
Hal tersebut tidak terlepas dari potensi manusia sebagai makhluk paedagogik, yaitu makhluk yang dicipta Allah membawa potensi dapat dididik dan mendidik.[6] Karena sebagai makhluk paedagogik inilah manusia dapat dikembangkan kebudayaan dimuka bumi ini, sekaligus menjadi tanda keistimewaan dan kemuliaan manusia.

2.        Manusia Sebagai Khalifah Dimuka Bumi
        Potensi-potensi yang dimiliki manusia seperti diatas mencerminkan kemuliaan manusia, sehingga mempunyai implikasi yang luas bagi kehidupan dimuka bumi ini. Menusia menjadi duta Tuhan, khalifah Allah yang menjadi penanggungjawab kehidupan alam ini.
        Sebenarnya ada banyak perbedaan penafsiran tentang atribut khalifah yang disandang manusia, tetapi ada suatu keyakinan, seperti yang dikemukakan Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan Al-Qur’an, misalnya menyatakan bahwa kata khalifah berasal dari firman Allah ( Khalifah, khalif, khulafa’ ) yang mempunyai konteks makna masing-masing. Khalifah dan khulafa’ memiliki makna sebagai “ penguasa “ yang punya kekuasaan politik, dan bisa terwujud pada pribadi seseorang, dan bisa bentuk otoriter ( pengertian khalifah seperti ini dalam Al- Qur’an dipresentasikan oleh Adam dan Daud ). Sedang khalif, dimaknai sekelompok orang yang tidak punya kekuasaan politik, ini mengisyaratkan bahwa selaku kekhalifahan yang diemban manusia tidak dapat berjalan tanpa bantuan orang lain.[7]
Maka tampaklah disini bahwa peran kekhalifahan yang menampilkan diri sebagai khalifah yang bermoral dan bertanggungjawab amat diperlukan. Bagaimanapun alam patut dihormati dan dijaga kelestariannya. Maka manusia dalam memanfaatkan alam tidak harus membatasi diri pada perlakuan yang eksploratif. Tetapi bagaimana dipahami sebagai sumber pengambilan pelajaran dalam mendekati Allah dan dalam membina hubungan yang serasi dengan sesama makhluk.[8] Sebagai khalifah dimuka bumi manusia harus sadar bahwa ia kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas tugas dalam menjalankan kekhalifahan yang diberikan Tuhan.
Tanggung jawab sebagai khalifah ternyata mempunyai bentuk yang lebih kompleks dan kawasan cakupan yang lebih luas dari tugas dan tanggung jawab manusia sebagai makhluk sosial. Manusia adalah makhluk yang paling mulia dari makhlukmakhluk lain, hidupnya diatur sedemikian rapih dalam segala aspeknya, sesuai dengan fungsinya sebagai pengemban amanat Allah untuk memakmurkan kehidupan dibumi. Aspek-aspek tersebut meliputi sikap hidup manusia terhadap diri pribadi, terhadap masyarakatnya, terhadap alam sekitarnya dan terhadap Allah.[9]
1.      Sikap hidup terhadap diri pribadi
Sebagai mahkluk yang merupakan unsur jasmani, ruhani dan akal, manusia diperintahkan berusaha memenuhi kebutuhan unsur-unsur itu, yang berbeda-beda tetapi tidak berdiri sendirisendiri. Unsur jasmani memerlukan makan minum yang cukup, memerlukan pakaian memerlukan tempat bernaung dari panas dan hujan, dan dalam waktu yang sama untuk beristirahat dari keletihan bekerja sehari-hari, memerlukan obat bila sakit, memerlukan olah raga untuk memelihara kesehatan, dan sebagainya.
Kecuali mencukupkan unsur jasmaniah, manusia harus berusaha juga mencukupkan unsur jiwa ( ruh ), yaitu dengan jalan mensucikan jiwa, mendekatkan diri beribadah kepada Allah, menjauhkan diri dari godaan-godaan syaitan. Selaian mencukupkan unsur jasmaniah dan unsur jiwa, manusia juga harus mencukupkan kebutuhan akal. Unsur akal hendaklah dipenuhi kebutuhannya dengan ilmu pengetahuan yang akan membawa peningkatan hidup manusia, baik yang menyangkut kehidupan jasmaniah maupun yang menyangkut kehidupan ruhaniah.
2.      Sikap hidup terhadap masyarakat
Selain sebagai makhluk individu, manusia juga termasuk makhluk sosial yang senantiasa berhubungan dengan manusia lain dalam kehidupan kemasyarakatan. Semakin modern kehidupan manusia semakin kompleks tatanan kehidupan yang harus dihadapi manusia.[10]
Sebagai makhluk sosial, manusia harus menempatkan diri dan berperan sesuai dengan statusnya dalam masyarakat dan lingkungan tempat ia berada. Manusia harus dapat mengikuti tata aturan yang berlaku dalam lingkungan tersebut agar terbina hubungan yang harmonis diantara mereka.
Masyarakat pertama yang terjadi dalam kehidupan manusia ialah keluarga rumah tangga, yang terdiri dari suami, isteri dan anak-anak. Hidup bermasyarakat menimbulkan hak dan kewajiban dikalangan para anggotanya. Hubungan suami, isteri dan anak menimbulkan hak dan wajib yang harus dipenuhi masing-masing. Hubungan bertetangga juga menimbulkan hak dan kewajiban yang harus ditunaikan masing-masing yang bersangkutan.[11] Dari sini jelas, bahwa dalam hubungan sosial harus ada hubungan timbal balik yang saling menguntungkan diantara anggota masyarakat.
3.      Sikap hidup terhadap alam
Sebagai makhluk pengemban amanat Allah untuk melaksanakan kehidupan dibumi, manusia berkewajiban mengembangkan kehidupan dibumi dengan cara menggali, mengolah dan memanfaatkan kekayaan alam dengan sebaikbaiknya.
Untuk memungkinkan pengambilan manfaat kekayaan alam yang beraneka macamnya itu, diperlukan keahlian-keahlian dalam berbagai bidang, agar dalam melaksanakan amanat Allah menyelenggarakan kehidupan diatas bumi ini dapat lebih sempurna, yang diharapkan akan makin membawa kesempurnaan dalam mengabdikan diri kepada Allah.
4.      Sikap hidup terhadap Allah
Manusia adalah makhluk Allah, hidup dibumi Allah dan segala sesuatu yang diperlukan manusia telah disediakan oleh Allah pula. Oleh karenanya, manusia wajib bersyukur atas karunia Allah itu. Manusia wajib menghambakan diri kepada Allah. Sebagaimana firman Allah :
 وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُون
“ dan aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk menyembahku” (adz-Dzariyaat : 56)[12]

     B.            Pengertian Demokrasi dan Sejarahnya
Dalam arti harfiahnya, demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yakni demos yang artinya rakyat dan kratia artinya pemerintahan. Dapat disimpulkan bahwasanya demokrasi berarti pemerintahan (oleh) rakyat. Sebagaimana diungkapakan seorang tokoh Giddens bahwa demokrasi pada dasarnya mengandung makna suatu sistem politik dimana rakyat memegang kekuasaan tertinggi, bukan raja atau kaum bangsawan.[13]
Sebenarnya demokrasi terbagi dalam dua kategori dasar, yaitu langsung dan pewakilan.[14] Dalam demokrasi langsung, semua warga, tanpa melalui pejabat yang dipilih dapat ikut dalam pembuatan keputusan negara. Sistem seperti ini hanya cocok untuk relatif sejumlah kecil orang. Contoh dari demokrasi ini adalah Athena Kuno yang merupakan munculnya demokrasi pertama di dunia. Athena kuno mampu menjalankan demokrasi langsung dengan suatu majelis yang mungkin terdiri dari 5.000 sampai 6.000 orang yang dapat secara fisik berkumpul di satu tempat dan menjalankan demokrasi langsung.
Masyarakat modern dengan besar dan kerumitannya, menawarkan sedikit kesempatan untuk demokrasi lansung. Bahkan di Amerika Serikat bagian timur laut, di mana rapat kota di New England merupakan tradisi yang keramat, kebanyakan masyarakat warganya telah tumbuh begitu besar untuk dapat berkumpul dalam satu tempat dan memberikan suara langsung mengenai masalah yang mempengaruhi hidup mereka.
Yang kedua yaitu perwakilan, yang mana para warganya memilih pejabat-pejabat untuk membuat keputusan politik yang rumit, merumuskan undang-undang dan menjalankan program untuk kepentingan umum. Atas nama rakyat, pejabat-pejabat itu dapat berunding mengenai berbagai isu masyarakat yang rumit lewat cara bijaksana dan sistematis, membutuhkan waktu dan tenaga yang sering tidak praktis bagi sebagian besar warga negara biasa. Apapun cara yang dipakai, pejabat pemerintah dalam demokrasi perwakilan memangku jabatan atas nama rakyat dan tetap bertanggung jawab kepada rakyat atas tindakan mereka.
Sebenarnya pemikiran untuk melibatkan rakyat dalam kekuasaan sudah muncul sejak zaman dahulu. Di beberapa kota Yunani didapatkan bukti yang nyata yang menguatkan hal ini, seperti di Athena dan Sparta.[15] Ketika itu orang-orang Yunani yang membentuk polis (negara-kota) mencoba menjawab pertanyaan bagaimana suatu sistem politik harus diorganisasikan agar dapat memenuhi kepentingan dan kesejahteraan bersama masyarakat. Demokrasi Yunani kuno saat itu bersifat demokrasi langsung yang dipraktekkan dalam suatu negara-negara kecil. Para warga negara kota, walaupun tidak seluruhnya, membuat keputusan-keputusan politik secara langsung.[16]
Dalam pandangan ilmuan politik Samuel P. Huntington, sejarah demokrasi bukanlah suatu gerak maju yang lambat dan pasti, melainkan serangkaian gelombang yang telah maju, mundur, lalu bercampur-campur dan memuncak lagi.
Dalam tulisannya di Journal of Democracy, Huntington mengidentifikasi tiga “gelombang panjang” dalam demokrasi.[17] Pertama mulai pada abad ke-19 dengan meluasnya hak pilih sampai mencakup porsi luas penduduk pria di Amerika serikat, dan berlanjut sampai 1920-an. Selama periode ini muncul 29 negara demokrasi. Pasang balik dari gelombang pertama mulai pada 1922 dengan naiknya Musolini ketampuk kekuasaan di Italia dan berlangsung sampai 1942, ketika jumlah negara demokrasi turun menjadi 12.
Gelombang kedua ditandai dengan kemenangan sekutu pada perang dunia II, pada 1962 negara demokrasi menjadi 36. kemudian antara 1962 sampai 1970, turun menjadi 30 negara. Namun pada 1974 gelombang ketiga demokrasi telah menambahkan dengan sekitar 30 negara demokrasi baru. Dalam demokrasi banyak sekali nilai-nilai yang bisa diterapkan dalam kehidupan ini, di antaranya: keadilan, kebebasan, persamaan, perdamaian, keluhuran manusia dan lain sebagainya.
Lebih luas Henry B. Mayo memaparkan, bahwa demokrasi didasari oleh beberapa nilai ( values ), ia mencoba merinci nilai-nilai demokrasi ini, dengan catatan bahwa perincian ini tidak berarti bahwa setiap masyarakat demokrasi menganut semua nilai yang diperinci itu, bergantung pada perkembangan sejarah serta budaya politik masing-masing, adapun nilai-nilai demokrasi yang dimaksud sebagai berikut.[18]
Pertama, menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga (institutionalized peaceful settlement of conflict). Setiap masyarakat terdapat perselisihan pendapat serta kepentingan yang dalam alam demokrasi dianggap wajar untuk diperjuangkan. Perselisihan-perselisihan ini harus dapat diselesaikan melalui perundingan atau dialog terbuka dalam usaha untuk mencapai kompromi, konsensus atau mufakat.
Kedua, menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah ( peaceful change in changing society ). Dalam setiap masyarakat yang memodernisasikan diri terjadi perubahan sosial, yang disebabkan faktor-faktor seperti majunya teknologi, perubahan-perubahan dalam pola kepadatan penduduk, dalam pola perdagangan dan sebagainya.
Ketiga, menyelenggarakan pergantian pemimpin secara teratur (orderly succession of rulers). Pergantian atas dasar keturunan, atau dengan jalan mengangkat diri sendiri ataupun melalui kudeta, dianggap tidak wajar dalam demokrasi.
Keempat, membatasi pemakaian kekerasan secara minimum (minimum of coercion). Golongan-golongan minoritas yang sedikit banyak akan terkena paksaan akan lebih menerimanya kalau diberi kesempatan untuk turut serta dalam diskusi-diskusi yang terbuka dan kreatif, mereka akan lebih terdorong untuk memberikan dukungan sekalipun bersyarat, karena merasa turut bertanggungjawab.
Kelima, mengikuti serta menganggap wajar adanya keaneka ragaman (diversity) dalam masyarakat yang tercermin dalam keanekaragaman pendapat, kepentingan serta tingkah laku. Untuk hal ini perlu terselenggaranya suatu masyarakat terbuka (open society) serta kebebasan-kebebasan politik (political liberalies), yang mana akan memungkinkan timbulnya fleksibelitas dan tersedianya alternatif dalam jumlah yang cukup banyak. Dalam hubungan ini demokrasi sering disebut suatu gaya hidup (way of life).
Keenam, menjamin tegaknya keadilan. Dalam suatu demokrasi umumnya pelanggaran terhadap keadilan tidak akan terlalu sering terjadi, oleh karena golongan-golongan terbatas diwakili dalam lembaga-lembaga perwakilan, tetapi tidak dapat dihindarkan bahwa beberapa golongan akan merasa diperlakukan tidak adil. Maka yang dapat dicapai secara maksimal ialah suatu keadilan yang relatif (relatife justise). Keadilan yang dapat dicapai barangkali lebih bersifat keadilan dalam jangka panjang.

     C.            Keterkaitan Islam dan Demokrasi
Pembahasan tentang  Islam  dan demokrasi dari dulu  sampai sekarang selalu  menarik  perhatian dikalangan umat  Islam.  Hal ini dikarenakan latar belakang dan konsep antara Islam dan demokrasi sangat  jauh berbeda.  Disatu sisi,  demokrasi  memiliki  akar sejarahnya  dalam yunani  kuno dan  sampai  kepada  umat Islam melalui  filosof-filosof barat,  pemikir  politik,  pemimpin barat  dan seterusnya.  Akibatnya  demokrasi menjadi tampak  asing  terhadap kaum muslim.  Sedangkan pada sisi  yang  lain,  Islam mempunyai tradisi sendiri, penafsiran sendiri dan teks.[19]
Melihat  keadaan  yang  demikian,  sekilas  antara  Islam  dan demokrasi memang tidak  mempunyai  keterkaitan sama sekali. Karena demokrasi itu adalah buatan manusia, sedangkan Islam berasal dari Tuhan yang mana Ia telah menciptakan manusia itu sendiri.
Dikalangan umat Islam, terdapat perbedaan pendapat mengenai keterkaitan antara Islam dan demokrasi. Sebagian berpendapat bahwa demokrasi tidak memiliki nilai historis dan dukungan dalil dalam Islam. Dengan demikian keberadaannya harus ditolak. Sementara sebagian berpendapat bahwa demokrasi itu mirip dengan Islam dan memiliki persamaanpersamaan yang signifikan. Menurut sebagian yang menolak demokrasi, mengatakan bahwa, secara harfiah, demokrasi berarti kekuasaan berada dalam genggaman rakyat. Sedangkan doktrin Islam mengatakan bahwa hanyalah Tuhan yang memiliki kekuasaan. Lebih dari itu sebagian ulama’ juga mengklaim bahwa Islam adalah agama yang serba komplit yang mengatur seluruh aspek kehidupan ini.
Menurut John L. Esposito, penolakan sebagian ulama’ terhadap keberadaan demokrasi yang merupakan gagasan dari bangsa barat lebih dikarenakan untuk mengurangi ketergantungan dengan barat dan sekaligus penolakan secara menyeluruh terhadap kolonialisme Eropa.[20]
Dengan demikian ada dua problem tentang hubungan agama dan demokrasi : Pertama, problem filosofis yakni jika klaim agama terhadap pemeluknya sedemikian total maka akan menggeser otonomi dan kemerdekaan manusia yang berarti juga menggeser prinsip-prinsip demokrasi. Kedua, Problem historis sosiologis, ketika kenyataannya peran agama tidak jarang digunakan oleh penguasa untuk mendukung kepentingan politiknya.
Sedangkan menurut sebagian yang menerima demokrasi salah satunya yaitu Abdurrahman Wahid, mengatakan bahwa, Islam itu adalah agama demokrasi. Sebab, pertama Islam adalah agama hukum, sehingga orang harus diperlakukan sama. Kedua, Islam memiliki asas musyawarah ( syura ), untuk menyatukan berbagai keinginan dan kehendak. Ketiga, Islam selalu berpandangan untuk memperbaiki kehidupan. Keempat, sebagaimana demokrasi Islam juga mengedepankan prinsip-prinsip keadilan.[21]
Apa yang dikatakan oleh Abdurrahman wahid tersebut memang ada benarnya kalau dilihat dari nilai-nilai yang terkandung dalam Islam. Sebenarnya nilai-nilai yang diperjuangkan dalam Islam hampir sama dengan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh demokrasi. Diantara nilai-nilai demokrasi yaitu adanya prinsip kebersamaan, kebebasan dan keadilan.
Adapun tokoh yang lain yang dapat menerima demokrasi yaitu Nurcholis Madjid, menurutnya, terdapat titik temu antara agama dan demokrasi khususnya bila dikaitkan dengan tujuan keduanya, yaitu cita-cita untuk kebaikan semua. Maka tidak heran jika penerimaan umat Islam pada demokrasi bersifat sangat alami.[22]
Hal tersebut diatas dapat kita saksikan dalam kehidupan umat Islam yang ada saat ini khususnya di Indonesia. Adanya konsep seperti musyawarah mufakat dan kedaulatan rakyat menunjukkan bahwa prinsip-prinsip demokrasi telah jauh tertanam didalam kehidupan umat Islam. Karena itulah sangat tepat jika kita mengembangkan sistem demokrasi yang lebih sesuai dengan tingkat perkembangan yang di alami umat Islam itu sendiri.
Gagasan-gagasan yang telah dilontarkan baik oleh Abdurrahman Wahid maupun Nurcholis Madjid, pada intinya menyatakan bahwa agama mendukung proses demokrasi. Agama lahir dan berkembang dengan misi untuk melindungi dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta terwujudnya keadilan dan kemerdekaan bagi manusia. Oleh karena itu, meskipun agama secara tidak sistematis mengajarkan praktek demokrasi, namun agama memberi etos, spirit, dan muatan doktrinal yang mendorong bagi terwujudnya kehidupan demokratis
Dari uraian diatas dapat ditarik benang merah, bahwa sistem demokrasi itu dapat berjalan dengan misi agama Islam. Demokrasi bahkan dapat disebut yang paling baik dan paling tepat, karena dengan mekanismenya yang wajar ia bisa menghindarkan adanya tirani mayoritas atas minoritas dan juga sebaliknya.
Kendatipun terdapat nilai-nilai demokrasi dalam Islam dan juga tidak ada konflik diantara keduanya, namum basis teoritis demokrasi tetaplah menjadi problemik. Nilai-nilai demokrasi dan kriterianya dianggap ekstra –religius dikalangan sebagian umat Islam, sehingga sangat sulit untuk dapat diterima di kalangan umat Islam. Untuk dapat mencari hubungan antara Islam dan demokrasi, maka terlebih dahulu harus menggali nilai-nilai demokrasi dalam Islam itu sendiri.[23] Disitulah, nanti akan dapat ditemukan keterkaitan antara Islam dan demokrasi yang selama ini menjadi perdebatan dikalangan kaum muslimin.
Berikut ini akan penulis sampaikan beberapa hal tentang nilainilai yang dikembangkan oleh Islam yang ada kaitannya dengan konsep demokrasi. Seperti hak asasi manusia, kebebasan berbeda pendapat, kebebasan menentukan sikap, dan pengakuan terhadap kaum minoritas, sejak beberapa abad yang silam Islam telah menancapkan semua dasar-dasar itu baik di dalam kitab suci, ataupun hadits.
1.      Prinsip kebebasan
Kebebasan berfikir, kebebasan berkeyakinan dan kebebasan berpendapat merupakan sendi-sendi ajaran Islam. Syariah menjunjung tinggi prinsip-prnsip tersebut, dan memerintahkan pada setiap muslim untuk mewujudkannya menjadi kenyataan.[24]
a.       Kebebasan berfikir
Sesuai dengan syariat Islam, kebebasan berfikir mrupakan piranti untuk membebaskan akal dari tahayul, tradisi yang tidak sehat, atau kebiasaan-kebiasaan yang tidak masuk akal. Ini merangsang pribadi-pribadi untuk memikirkan segala sesuatu dari kehidupan sehari-harinya, menganalisanya, menimbang-nimbangnya, membandingkannya dengan pilihan yang ada, dan kemudian memilih yang paling sesuai dengan akal.

b.      Kebebasan berkepercayaan
Syariat Islam mengakui kebebasan berkepercayaan bukan pada tingkat teori saja, namun juga dalam praktek kehidupan. Manusia diberi kebebasan untuk menganut keyakinan yang lain, dan harus dihormati dan dihargai oleh orang lain.
Firman Allah:
“Hai  orang-orang  yang  beriman,  hendaklah kamu  menjadi  orang- orang yang selalu menegakkan (keadilan) karena Allah menjadi saksi dengan  adil  dan  janganlah  sekali-kali  kebencian  terhadap  kaum mendorong  kamu  untuk  berlaku  tidak adil.  Berlakulah  adail  karena adil itu lebih dekat dengan taqwa”

c.       Prinsip Persamaan
Firman Allah:
  Hai manusia  ! Kami ciptakan  kamu dari laki-laki  dn  perempuan. Kami jadikankamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya saling  mengenal.  Sungguh  yang  paling  mulia diantara  kamu  bagi Allah  ialah yang  paling takwa diantara  kamu”. (  Qs.  Al-Hujurat  : 13 )

d.      Prinsip keadilan
Keadilan merupakan prinsip dasar ideologi Islam. Pelaksanaan keadilan tidak boleh berat sebelah, tanpa membeda-bedakan status sosial seseorang, kekayaan, kelas, ras, pengaruh politik, ataupun keyakinan agama.[25]

 IV.            Kesimpulan
Islam
    V.            Penutup
Sekian


                [1] Muhammad Al-Buraey, Islam dan Landasan Alternatif Administrasi Pembangunan, terj. Achmad Nashir Budiman, (Jakarta: Rajawali 1986 ), hlm. 98-99
[2] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, ( Bandung : MIZAN,1996 ), hlm. 123-124
[3]Abdul Ghofur, Demokratisasi dan Prospek Hukum Islam di Indonesia, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002 ), hlm. 85
[4] Jalaluddin, Teologi Pendidikan, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001) , hlm. 50
[5] Omar Mohammad Al-Toumy Al- Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam,( Jakarta: Bulan Bintang, 1979 ), hlm. 136
[6] Zakiyah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, ( Jakarta: Bumi Aksara, 1992 ), hlm. 166
[7] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, ( Bandung : MIZAN,1996 ), hlm. 156- 158
[8] Nurchalis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, ( Jakarta :Yayasan Wakaf Paramadina, 1995 ), hlm. 295
[9] Abdul Munir Mulkhan, Ideologisasi Gerakan Dakwah, ( Yokyakarta : Sipress,1996 ), hlm.98
[10] Aunur Rahim Faqih, Bimbingan dan Konseling Dalam Islam, ( Yogyakarta : UII Press, 2001 ), hlm. 17 -18.
[11] Abdul Munir Mulkhan, Ideologisasi Gerakan Dakwah, ( Yokyakarta : Sipress,1996 ), hlm 100
[12] Depag RI, Alqur’an dan Terjemahnya, ( Semarang : Kumudasmoro Grafindo,1994 ), hlm. 862.
[13] Abdul Ghofur, Demokratisasi dan Prospek Hukum Islam di Indonesia,, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002 ), hlm. 15
[14] Abdul Munir Mulkhan, Ideologisasi Gerakan Dakwah, ( Yokyakarta : Sipress,1996 ), hlm 151
[15] Abdul-Ghany bin Muhammad Ar-Rahhal, Fenomena Demokrai, Studi Analisis Perpolitikan Dunia Islam, terj. Khatur Suhardi, ( Jakarta : DeA Press, 2000 ), hlm. 25
[16] Abdul Ghofur, Demokratisasi dan Prospek Hukum Islam di Indonesia, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002 ), hlm. 21-22
[17] Abdul Munir Mulkhan, Ideologisasi Gerakan Dakwah, ( Yokyakarta : Sipress,1996 ), hlm 125
[18] Mariam Budiardjo, Dasa-dasar Ilmu Politik ( Jakarta : Gramedia, 1993 ) hlm. 62-64
[19] Bernard Lewis, Islam Liberalisme Demokrasi Membangun Sinerji Warisan Sejarah, terj. Mun’im A. Sirry, ( Jakarta: Paramadina, 2002 ) hlm. 132
[20] Abdul Munir Mulkhan, Ideologisasi Gerakan Dakwah, ( Yokyakarta : Sipress,1996 ), hlm 132
[21] Abdul Ghofur, Demokratisasi dan Prospek Hukum Islam di Indonesia, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002 ), hlm.42-43
[22] Ahmad Amir Aziz, Neo Modernisme Islam di Indonesia; Gagasan sentral Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid, (Jakarta : Rineka Cipta, 1999), hlm. 67
[23] Bernard Lewis, Islam Liberalisme Demokrasi Membangun Sinerji Warisan sejarah, terj. Mun’im A. Sirry, ( Jakarta: Paramadina, 2002 ), hlm. 133
[24] Muhammad Al-Buraey, Islam, Landasan Alternatif Administrasi Pembangunan, terj. Achmad Nashir Budiman, (Jakarta: Rajawali 1986 ), Hlm. 82
[25] Muhammad Al-Buraey, Islam: Landasan Alternatif Administrasi Pembangunan, terj. Achmad Nashir Budiman, (Jakarta: Rajawali 1986 ), hlm. 86

(0) Comments

Leave a Response