DEMOKRASI DAN ISLAM
I.
PENDAHULUAN
Islam merupakan agama yang telah turun temurun
dibawa oleh nabi-nabi. Islam sendiri merupakan jalan yang mengantarkan para
manusia untuk menuju ke jalan yang benar dan jalan menuju kebaikan. Ajaran Islam
semakin pesat dan berkembang dari masa ke masa, dan adanya perkembangan itu
pula sering muncul permasalahan-permasalahan yang baru yang harus bisa
diselesaikan dengan jalan yang benar dan jalan yang di ridhai Allah..
Adanya permasalahan ini tentunya memerlukan
pemecahan, namun di sisi lain jawaban dari permasalahan itu sering
berbeda-beda, sehingga memunculkan suatu golongan-golongan yang tadinya satu
menjadi beberapa golongan.
Demokrasi dan Islam di sini memunculkan
pandangan baru untuk menumbuhkan suatu tujuan sama yang nantinya akan membawa
Islam menjadi kesatuan utuh dan menjadi kokoh dalam mempersatukan umat. Antara
demokrasi dan Islam sebenarnya mempunyai kesamaan dalam memberikan kebebasan
dalam umatnya untuk bebas dalam melakukan kegiatan ataupun pekerjaan. Namun,
bukan berarti terlepas dari aturan-aturan yang telah di tetapkan dalam
ketentuan yang telah tertuang dalam Al-Qur’an dan hadits.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Apa pengertian hakiat manusia dalam
Islam?
B. Apa pengertian demokrasi dan bagaimana sejarahnya?
C. Bagaimana
keterkaitan Islam dan demokrasi?
III.
PEMBAHASAN
A.
Hakekat Manusia Dalam Islam
Pembahasan
mengenai manusia merupakan kajian yang selalu menarik. Sejak dulu sampai
sekarang manusia senantiasa menjadi obyek pemikiran dan obyek studi dari
berbagai macam kalangan, baik itu para filosof maupun kaum cendekiawan dari
berbagai macam disiplin ilmu. Hal ini dikarenakan, manusia merupakan
makhluk yang paling unik, multi dimensi dan mempunyai pola hubungan yang
begitu kompleks. Sebagaimana diungkapkan oleh John Dewey, manusia
oleh para sarjana barat telah dipandang dengan penuh kecurigaan, dengan
takut, dengan pandangan yang asam, dan kadangkala memang dengan
antusiasme terhadap kemampuannya.[1]
Keunikan manusia yang membingungkan itu sedikit terobati, apabila
kita memangkas semua pertanyaan yang ada pada diri kita, bahwa itulah
manusia, dan kita yakin bahwa pertanyaan siapakah atau apakah manusia
itu tidak akan terjawab secara tuntas. Manusia tidak hanya sebatas
perkaitan badan dan ruh, tetapi lebih dari itu manusia mempunyai
dimensi-dimensi lain yang lebih luas.
1. Manusia
Sebagai Makhluk Termulia
Allah
membekali manusia dengan beberapa ciri tertentu yang tidak dimiliki oleh
makhluk lainnya. Dengan karunia itu manusia berhak mendapat penghormatan dari
mahluk lain. Dari sini tampak bahwa Islam tidak memposisikan manusia dalam
kerendahan, keterpinggiran atau tidak berharga, seperti binatang, benda mati
atau mahluk lainnya selama manusia tidak terlepas dari fitrah kemanusiaannya,
konsisten dengan tugasnya sebagai penerima dan pelaksana ajaran Tuhan. Tetapi
ada beberapa alasan mengapa manusia dipandang sebagai makhluk termulia
dibandingkan dengan makhluk-makhluk ciptaan Tuhan lainnya (yang penulis ambil
dari berbagai karya buku) yaitu:
a.
Manusia Memiliki Daya Akal dan
Perasaan
Inilah kelebihan yang dimiliki manusia. Dengan
akal dan perasaan manuisa mempunyai daya kehidupan. Daya untuk membentuk
peradaban dan kebudayaan dimuka bumi ini. Dengan akal dan perasaan manusia
dapat berfikir menciptakan kehidupannya sendiri.[2]
Bandingkan dengan kehidupan binatang atau benda mati yang mereka hidup berbeda
dengan manusia yang diberi akal dan daya pikir untuk menyelami kehidupan alam
nyata ini, sebab dengan instink belaka hewan tidak mampu menguak alam ini.
b.
Manusia adalah mahluk yang cerdas
Dengan kecerdasannya manusia mampu
mengendalikan dirinya dalam melaksanakan kegiatan sehari-harinya, walaupun terkadang
ia membutuhkan bantuan dan pengarahan dari orang lain. Islam sangat
memperhatikan kepribadian setiap muslim. dalam mempersiapkan dirinya untuk
mencapai tujuan utamanya. Dalam pandangan Islam, dengan kesadaran rohaniahnya
dan kemampuan intelekualnya, manusia seperti itu akan dapat mengendalikan
gurauan dan keinginannya, sehingga mencapai tingkat kemampuan pengendalian diri
yang tinggi yang akhirnya dapat bermanfaat bagi pelaksanaan ibadahnya dan
kegiatan teknologis yang dilakasanakannya.[3]
c.
Manusia adalah Mahluk Bertanggung
Jawab
Manusia menurut Al-Qur’an, menerima kebenaran
Allah dan bertanggung jawab penuh atas segala tindakannya. Walau Islam berarti
penyerahan diri sepenuhnya hanya kepada kehendak Allah, namun manusia tetap
memiliki kebebasan untuk mengarahkan dirinya pada berbagai situasi. Segala perbuatan
yang dilakukan oleh manusia didunia ini kelak dikemudian hari akan dimintai
pertanggungjawaban oleh Allah, baik itu perbuatan baik ataupun perbuatan yang
tidak diridloi oleh Allah. Sebagai khalifah di muka bumi ini, manusia diberi
amanat oleh Allah untuk menjaga dan melestarikan alam ini dan tidak boleh
merusaknya. Tugas tersebut memang cukup berat, namun manusia harus mampu
mengembannya, kesanggupan ini bagaimanapun membawa konsekuensi khusus bagi
manusia, yaitu berupa pertanggungjawaban terhadap pelaksanaan amanat yang
diterimanya. Semuanya itu kemudian akan dievaluasi oleh Sang Maha Pencipta
sendiri.[4]
d.
Perkembangan Bakat
Manusia adalah makhluk cerdas yang dapat
memanfaatkan bakat serta kecerdasannya untuk mengembangkan kehidupannya diatas
muka bumi, dan membuatnya lebih sejahtera.
Ajaran-ajaran Islam menunjukkan bahwa Islam
sebagai agama universal memberikan perhatian yang besar kepada seluruh dimensi
manusia baik itu fisik, material dan spiritual, mental dan emosional, sosial
dan individual. Islam tidak melalaikan satupun darinya, maka Islam memberikan
perhatian yang khusus kepada dimensi-dimensi itu melalui pendidikan untuk
mengembangkan bakat atau potensi yang dibawa manusia. Walaupun begitu, tidak
boleh terlupakan bahwa perkembangan potensi manusia juga dipengaruhi oleh
faktor warisan dan pendidikan.[5]
Meski kita sadar bahwa faktor pendidikan menduduki arus utama dalam
perkembangan potensi manusia.
Hal tersebut tidak terlepas dari potensi
manusia sebagai makhluk paedagogik, yaitu makhluk yang dicipta Allah membawa
potensi dapat dididik dan mendidik.[6]
Karena sebagai makhluk paedagogik inilah manusia dapat dikembangkan kebudayaan
dimuka bumi ini, sekaligus menjadi tanda keistimewaan dan kemuliaan manusia.
2.
Manusia Sebagai Khalifah Dimuka
Bumi
Potensi-potensi yang dimiliki manusia
seperti diatas mencerminkan kemuliaan manusia, sehingga mempunyai implikasi
yang luas bagi kehidupan dimuka bumi ini. Menusia menjadi duta Tuhan, khalifah
Allah yang menjadi penanggungjawab kehidupan alam ini.
Sebenarnya ada banyak perbedaan
penafsiran tentang atribut khalifah yang disandang manusia, tetapi ada suatu
keyakinan, seperti yang dikemukakan Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan
Al-Qur’an, misalnya menyatakan bahwa kata khalifah berasal dari firman Allah (
Khalifah, khalif, khulafa’ ) yang mempunyai konteks makna masing-masing.
Khalifah dan khulafa’ memiliki makna sebagai “ penguasa “ yang punya kekuasaan
politik, dan bisa terwujud pada pribadi seseorang, dan bisa bentuk otoriter (
pengertian khalifah seperti ini dalam Al- Qur’an dipresentasikan oleh Adam dan
Daud ). Sedang khalif, dimaknai sekelompok orang yang tidak punya kekuasaan
politik, ini mengisyaratkan bahwa selaku kekhalifahan yang diemban manusia
tidak dapat berjalan tanpa bantuan orang lain.[7]
Maka tampaklah disini bahwa peran kekhalifahan yang menampilkan
diri sebagai khalifah yang bermoral dan bertanggungjawab amat diperlukan.
Bagaimanapun alam patut dihormati dan dijaga kelestariannya. Maka manusia dalam
memanfaatkan alam tidak harus membatasi diri pada perlakuan yang eksploratif.
Tetapi bagaimana dipahami sebagai sumber pengambilan pelajaran dalam mendekati
Allah dan dalam membina hubungan yang serasi dengan sesama makhluk.[8]
Sebagai khalifah dimuka bumi manusia harus sadar bahwa ia kelak akan dimintai
pertanggungjawaban atas tugas dalam menjalankan kekhalifahan yang diberikan
Tuhan.
Tanggung jawab
sebagai khalifah ternyata mempunyai bentuk yang lebih kompleks dan kawasan
cakupan yang lebih luas dari tugas dan tanggung jawab manusia sebagai makhluk
sosial. Manusia adalah makhluk yang paling mulia dari makhlukmakhluk lain,
hidupnya diatur sedemikian rapih dalam segala aspeknya, sesuai dengan fungsinya
sebagai pengemban amanat Allah untuk memakmurkan kehidupan dibumi. Aspek-aspek
tersebut meliputi sikap hidup manusia terhadap diri pribadi, terhadap
masyarakatnya, terhadap alam sekitarnya dan terhadap Allah.[9]
1.
Sikap hidup terhadap diri pribadi
Sebagai mahkluk yang merupakan unsur jasmani,
ruhani dan akal, manusia diperintahkan berusaha memenuhi kebutuhan unsur-unsur
itu, yang berbeda-beda tetapi tidak berdiri sendirisendiri. Unsur jasmani
memerlukan makan minum yang cukup, memerlukan pakaian memerlukan tempat
bernaung dari panas dan hujan, dan dalam waktu yang sama untuk beristirahat
dari keletihan bekerja sehari-hari, memerlukan obat bila sakit, memerlukan olah
raga untuk memelihara kesehatan, dan sebagainya.
Kecuali
mencukupkan unsur jasmaniah, manusia harus berusaha juga mencukupkan unsur jiwa
( ruh ), yaitu dengan jalan mensucikan jiwa, mendekatkan diri beribadah kepada Allah,
menjauhkan diri dari godaan-godaan syaitan. Selaian mencukupkan unsur jasmaniah
dan unsur jiwa, manusia juga harus mencukupkan kebutuhan akal. Unsur akal
hendaklah dipenuhi kebutuhannya dengan ilmu pengetahuan yang akan membawa
peningkatan hidup manusia, baik yang menyangkut kehidupan jasmaniah maupun yang
menyangkut kehidupan ruhaniah.
2.
Sikap hidup terhadap masyarakat
Selain sebagai makhluk individu, manusia juga
termasuk makhluk sosial yang senantiasa berhubungan dengan manusia lain dalam
kehidupan kemasyarakatan. Semakin modern kehidupan manusia semakin kompleks
tatanan kehidupan yang harus dihadapi manusia.[10]
Sebagai makhluk sosial, manusia harus
menempatkan diri dan berperan sesuai dengan statusnya dalam masyarakat dan
lingkungan tempat ia berada. Manusia harus dapat mengikuti tata aturan yang
berlaku dalam lingkungan tersebut agar terbina hubungan yang harmonis diantara
mereka.
Masyarakat pertama yang terjadi dalam
kehidupan manusia ialah keluarga rumah tangga, yang terdiri dari suami, isteri
dan anak-anak. Hidup bermasyarakat menimbulkan hak dan kewajiban dikalangan
para anggotanya. Hubungan suami, isteri dan anak menimbulkan hak dan wajib yang
harus dipenuhi masing-masing. Hubungan bertetangga juga menimbulkan hak dan
kewajiban yang harus ditunaikan masing-masing yang bersangkutan.[11]
Dari sini jelas, bahwa dalam hubungan sosial harus ada hubungan timbal balik
yang saling menguntungkan diantara anggota masyarakat.
3.
Sikap hidup terhadap alam
Sebagai
makhluk pengemban amanat Allah untuk melaksanakan kehidupan dibumi, manusia
berkewajiban mengembangkan kehidupan dibumi dengan cara menggali, mengolah dan
memanfaatkan kekayaan alam dengan sebaikbaiknya.
Untuk
memungkinkan pengambilan manfaat kekayaan alam yang beraneka macamnya itu,
diperlukan keahlian-keahlian dalam berbagai bidang, agar dalam melaksanakan
amanat Allah menyelenggarakan kehidupan diatas bumi ini dapat lebih sempurna,
yang diharapkan akan makin membawa kesempurnaan dalam mengabdikan diri kepada
Allah.
4.
Sikap hidup terhadap Allah
Manusia adalah makhluk Allah, hidup dibumi
Allah dan segala sesuatu yang diperlukan manusia telah disediakan oleh Allah
pula. Oleh karenanya, manusia wajib bersyukur atas karunia Allah itu. Manusia
wajib menghambakan diri kepada Allah. Sebagaimana firman Allah :
وَمَا خَلَقْتُ
الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُون
“ dan aku tidak menciptakan jin dan
manusia kecuali hanya untuk menyembahku” (adz-Dzariyaat : 56)[12]
B.
Pengertian
Demokrasi dan Sejarahnya
Dalam arti harfiahnya, demokrasi berasal dari
bahasa Yunani, yakni demos yang artinya rakyat dan kratia artinya pemerintahan.
Dapat disimpulkan bahwasanya demokrasi berarti pemerintahan (oleh) rakyat.
Sebagaimana diungkapakan seorang tokoh Giddens bahwa demokrasi pada dasarnya
mengandung makna suatu sistem politik dimana rakyat memegang kekuasaan
tertinggi, bukan raja atau kaum bangsawan.[13]
Sebenarnya demokrasi terbagi dalam dua
kategori dasar, yaitu langsung dan pewakilan.[14]
Dalam demokrasi langsung, semua warga, tanpa melalui pejabat yang dipilih dapat
ikut dalam pembuatan keputusan negara. Sistem seperti ini hanya cocok untuk
relatif sejumlah kecil orang. Contoh dari demokrasi ini adalah Athena Kuno yang
merupakan munculnya demokrasi pertama di dunia. Athena kuno mampu menjalankan
demokrasi langsung dengan suatu majelis yang mungkin terdiri dari 5.000 sampai
6.000 orang yang dapat secara fisik berkumpul di satu tempat dan menjalankan demokrasi
langsung.
Masyarakat modern dengan besar dan
kerumitannya, menawarkan sedikit kesempatan untuk demokrasi lansung. Bahkan di
Amerika Serikat bagian timur laut, di mana rapat kota di New England merupakan
tradisi yang keramat, kebanyakan masyarakat warganya telah tumbuh begitu besar
untuk dapat berkumpul dalam satu tempat dan memberikan suara langsung mengenai
masalah yang mempengaruhi hidup mereka.
Yang kedua yaitu perwakilan, yang mana para
warganya memilih pejabat-pejabat untuk membuat keputusan politik yang rumit,
merumuskan undang-undang dan menjalankan program untuk kepentingan umum. Atas
nama rakyat, pejabat-pejabat itu dapat berunding mengenai berbagai isu
masyarakat yang rumit lewat cara bijaksana dan sistematis, membutuhkan waktu
dan tenaga yang sering tidak praktis bagi sebagian besar warga negara biasa.
Apapun cara yang dipakai, pejabat pemerintah dalam demokrasi perwakilan
memangku jabatan atas nama rakyat dan tetap bertanggung jawab kepada rakyat
atas tindakan mereka.
Sebenarnya pemikiran untuk melibatkan rakyat
dalam kekuasaan sudah muncul sejak zaman dahulu. Di beberapa kota Yunani
didapatkan bukti yang nyata yang menguatkan hal ini, seperti di Athena dan Sparta.[15]
Ketika itu orang-orang Yunani yang membentuk polis (negara-kota) mencoba
menjawab pertanyaan bagaimana suatu sistem politik harus diorganisasikan agar
dapat memenuhi kepentingan dan kesejahteraan bersama masyarakat. Demokrasi
Yunani kuno saat itu bersifat demokrasi langsung yang dipraktekkan dalam suatu
negara-negara kecil. Para warga negara kota, walaupun tidak seluruhnya, membuat
keputusan-keputusan politik secara langsung.[16]
Dalam pandangan ilmuan politik Samuel P.
Huntington, sejarah demokrasi bukanlah suatu gerak maju yang lambat dan pasti,
melainkan serangkaian gelombang yang telah maju, mundur, lalu bercampur-campur
dan memuncak lagi.
Dalam tulisannya di Journal of Democracy,
Huntington mengidentifikasi tiga “gelombang panjang” dalam demokrasi.[17]
Pertama mulai pada abad ke-19 dengan meluasnya hak pilih sampai mencakup porsi
luas penduduk pria di Amerika serikat, dan berlanjut sampai 1920-an. Selama
periode ini muncul 29 negara demokrasi. Pasang balik dari gelombang pertama
mulai pada 1922 dengan naiknya Musolini ketampuk kekuasaan di Italia dan
berlangsung sampai 1942, ketika jumlah negara demokrasi turun menjadi 12.
Gelombang kedua ditandai dengan kemenangan
sekutu pada perang dunia II, pada 1962 negara demokrasi menjadi 36. kemudian
antara 1962 sampai 1970, turun menjadi 30 negara. Namun pada 1974 gelombang
ketiga demokrasi telah menambahkan dengan sekitar 30 negara demokrasi baru. Dalam
demokrasi banyak sekali nilai-nilai yang bisa diterapkan dalam kehidupan ini,
di antaranya: keadilan, kebebasan, persamaan, perdamaian, keluhuran manusia dan
lain sebagainya.
Lebih luas
Henry B. Mayo memaparkan, bahwa demokrasi didasari oleh beberapa nilai ( values
), ia mencoba merinci nilai-nilai demokrasi ini, dengan catatan bahwa
perincian ini tidak berarti bahwa setiap masyarakat demokrasi menganut semua
nilai yang diperinci itu, bergantung pada perkembangan sejarah serta budaya
politik masing-masing, adapun nilai-nilai demokrasi yang dimaksud sebagai
berikut.[18]
Pertama, menyelesaikan
perselisihan dengan damai dan secara melembaga (institutionalized peaceful
settlement of conflict). Setiap masyarakat terdapat perselisihan pendapat
serta kepentingan yang dalam alam demokrasi dianggap wajar untuk diperjuangkan.
Perselisihan-perselisihan ini harus dapat diselesaikan melalui perundingan atau
dialog terbuka dalam usaha untuk mencapai kompromi, konsensus atau mufakat.
Kedua, menjamin
terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang
berubah ( peaceful change in changing society ). Dalam setiap
masyarakat yang memodernisasikan diri terjadi perubahan sosial, yang disebabkan
faktor-faktor seperti majunya teknologi, perubahan-perubahan dalam pola
kepadatan penduduk, dalam pola perdagangan dan sebagainya.
Ketiga,
menyelenggarakan pergantian pemimpin secara teratur (orderly succession of
rulers). Pergantian atas dasar keturunan, atau dengan jalan mengangkat diri
sendiri ataupun melalui kudeta, dianggap tidak wajar dalam demokrasi.
Keempat,
membatasi pemakaian kekerasan secara minimum (minimum of coercion).
Golongan-golongan minoritas yang sedikit banyak akan terkena paksaan akan lebih
menerimanya kalau diberi kesempatan untuk turut serta dalam diskusi-diskusi
yang terbuka dan kreatif, mereka akan lebih terdorong untuk memberikan dukungan
sekalipun bersyarat, karena merasa turut bertanggungjawab.
Kelima,
mengikuti serta menganggap wajar adanya keaneka ragaman (diversity) dalam
masyarakat yang tercermin dalam keanekaragaman pendapat, kepentingan serta
tingkah laku. Untuk hal ini perlu terselenggaranya suatu masyarakat terbuka
(open society) serta kebebasan-kebebasan politik (political liberalies), yang
mana akan memungkinkan timbulnya fleksibelitas dan tersedianya alternatif dalam
jumlah yang cukup banyak. Dalam hubungan ini demokrasi sering disebut suatu
gaya hidup (way of life).
Keenam,
menjamin tegaknya keadilan. Dalam suatu demokrasi umumnya pelanggaran terhadap
keadilan tidak akan terlalu sering terjadi, oleh karena golongan-golongan
terbatas diwakili dalam lembaga-lembaga perwakilan, tetapi tidak dapat
dihindarkan bahwa beberapa golongan akan merasa diperlakukan tidak adil. Maka
yang dapat dicapai secara maksimal ialah suatu keadilan yang relatif (relatife
justise). Keadilan yang dapat dicapai barangkali lebih bersifat keadilan dalam
jangka panjang.
C.
Keterkaitan
Islam dan Demokrasi
Pembahasan tentang Islam
dan demokrasi dari dulu sampai sekarang
selalu menarik perhatian dikalangan umat Islam.
Hal ini dikarenakan latar belakang dan konsep antara Islam dan demokrasi
sangat jauh berbeda. Disatu sisi,
demokrasi memiliki akar sejarahnya dalam yunani
kuno dan sampai kepada
umat Islam melalui
filosof-filosof barat,
pemikir politik, pemimpin barat dan seterusnya. Akibatnya
demokrasi menjadi tampak
asing terhadap kaum muslim. Sedangkan pada sisi yang
lain, Islam mempunyai tradisi
sendiri, penafsiran sendiri dan teks.[19]
Melihat
keadaan yang demikian,
sekilas antara Islam
dan demokrasi memang tidak
mempunyai keterkaitan sama
sekali. Karena demokrasi itu adalah buatan manusia, sedangkan Islam berasal
dari Tuhan yang mana Ia telah menciptakan manusia itu sendiri.
Dikalangan umat Islam, terdapat perbedaan
pendapat mengenai keterkaitan antara Islam dan demokrasi. Sebagian berpendapat
bahwa demokrasi tidak memiliki nilai historis dan dukungan dalil dalam Islam.
Dengan demikian keberadaannya harus ditolak. Sementara sebagian berpendapat
bahwa demokrasi itu mirip dengan Islam dan memiliki persamaanpersamaan yang
signifikan. Menurut sebagian yang menolak demokrasi, mengatakan bahwa, secara
harfiah, demokrasi berarti kekuasaan berada dalam genggaman rakyat. Sedangkan
doktrin Islam mengatakan bahwa hanyalah Tuhan yang memiliki kekuasaan. Lebih
dari itu sebagian ulama’ juga mengklaim bahwa Islam adalah agama yang serba
komplit yang mengatur seluruh aspek kehidupan ini.
Menurut John L. Esposito, penolakan sebagian
ulama’ terhadap keberadaan demokrasi yang merupakan gagasan dari bangsa barat
lebih dikarenakan untuk mengurangi ketergantungan dengan barat dan sekaligus
penolakan secara menyeluruh terhadap kolonialisme Eropa.[20]
Dengan demikian ada dua problem tentang
hubungan agama dan demokrasi : Pertama, problem filosofis yakni jika klaim
agama terhadap pemeluknya sedemikian total maka akan menggeser otonomi dan
kemerdekaan manusia yang berarti juga menggeser prinsip-prinsip demokrasi.
Kedua, Problem historis sosiologis, ketika kenyataannya peran agama tidak
jarang digunakan oleh penguasa untuk mendukung kepentingan politiknya.
Sedangkan menurut sebagian yang menerima
demokrasi salah satunya yaitu Abdurrahman Wahid, mengatakan bahwa, Islam itu
adalah agama demokrasi. Sebab, pertama Islam adalah agama hukum, sehingga orang
harus diperlakukan sama. Kedua, Islam memiliki asas musyawarah ( syura ), untuk
menyatukan berbagai keinginan dan kehendak. Ketiga, Islam selalu berpandangan
untuk memperbaiki kehidupan. Keempat, sebagaimana demokrasi Islam juga
mengedepankan prinsip-prinsip keadilan.[21]
Apa yang dikatakan oleh Abdurrahman wahid
tersebut memang ada benarnya kalau dilihat dari nilai-nilai yang terkandung
dalam Islam. Sebenarnya nilai-nilai yang diperjuangkan dalam Islam hampir sama
dengan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh demokrasi. Diantara nilai-nilai
demokrasi yaitu adanya prinsip kebersamaan, kebebasan dan keadilan.
Adapun tokoh yang lain yang dapat menerima
demokrasi yaitu Nurcholis Madjid, menurutnya, terdapat titik temu antara agama
dan demokrasi khususnya bila dikaitkan dengan tujuan keduanya, yaitu cita-cita
untuk kebaikan semua. Maka tidak heran jika penerimaan umat Islam pada demokrasi
bersifat sangat alami.[22]
Hal tersebut diatas dapat kita saksikan dalam
kehidupan umat Islam yang ada saat ini khususnya di Indonesia. Adanya konsep seperti
musyawarah mufakat dan kedaulatan rakyat menunjukkan bahwa prinsip-prinsip
demokrasi telah jauh tertanam didalam kehidupan umat Islam. Karena itulah
sangat tepat jika kita mengembangkan sistem demokrasi yang lebih sesuai dengan
tingkat perkembangan yang di alami umat Islam itu sendiri.
Gagasan-gagasan yang telah dilontarkan baik
oleh Abdurrahman Wahid maupun Nurcholis Madjid, pada intinya menyatakan bahwa
agama mendukung proses demokrasi. Agama lahir dan berkembang dengan misi untuk
melindungi dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta terwujudnya
keadilan dan kemerdekaan bagi manusia. Oleh karena itu, meskipun agama secara
tidak sistematis mengajarkan praktek demokrasi, namun agama memberi etos,
spirit, dan muatan doktrinal yang mendorong bagi terwujudnya kehidupan
demokratis
Dari uraian diatas dapat ditarik benang merah,
bahwa sistem demokrasi itu dapat berjalan dengan misi agama Islam. Demokrasi
bahkan dapat disebut yang paling baik dan paling tepat, karena dengan
mekanismenya yang wajar ia bisa menghindarkan adanya tirani mayoritas atas
minoritas dan juga sebaliknya.
Kendatipun terdapat nilai-nilai demokrasi
dalam Islam dan juga tidak ada konflik diantara keduanya, namum basis teoritis
demokrasi tetaplah menjadi problemik. Nilai-nilai demokrasi dan kriterianya
dianggap ekstra –religius dikalangan sebagian umat Islam, sehingga sangat sulit
untuk dapat diterima di kalangan umat Islam. Untuk dapat mencari hubungan
antara Islam dan demokrasi, maka terlebih dahulu harus menggali nilai-nilai demokrasi
dalam Islam itu sendiri.[23]
Disitulah, nanti akan dapat ditemukan keterkaitan antara Islam dan demokrasi yang
selama ini menjadi perdebatan dikalangan kaum muslimin.
Berikut ini akan penulis sampaikan beberapa
hal tentang nilainilai yang dikembangkan oleh Islam yang ada kaitannya dengan
konsep demokrasi. Seperti hak asasi manusia, kebebasan berbeda pendapat, kebebasan
menentukan sikap, dan pengakuan terhadap kaum minoritas, sejak beberapa abad
yang silam Islam telah menancapkan semua dasar-dasar itu baik di dalam kitab
suci, ataupun hadits.
1.
Prinsip kebebasan
Kebebasan berfikir, kebebasan berkeyakinan dan
kebebasan berpendapat merupakan sendi-sendi ajaran Islam. Syariah menjunjung
tinggi prinsip-prnsip tersebut, dan memerintahkan pada setiap muslim untuk
mewujudkannya menjadi kenyataan.[24]
a.
Kebebasan berfikir
Sesuai dengan
syariat Islam, kebebasan berfikir mrupakan piranti untuk membebaskan akal dari
tahayul, tradisi yang tidak sehat, atau kebiasaan-kebiasaan yang tidak masuk
akal. Ini merangsang pribadi-pribadi untuk memikirkan segala sesuatu dari
kehidupan sehari-harinya, menganalisanya, menimbang-nimbangnya,
membandingkannya dengan pilihan yang ada, dan kemudian memilih yang paling
sesuai dengan akal.
b.
Kebebasan berkepercayaan
Syariat Islam
mengakui kebebasan berkepercayaan bukan pada tingkat teori saja, namun juga
dalam praktek kehidupan. Manusia diberi kebebasan untuk menganut keyakinan yang
lain, dan harus dihormati dan dihargai oleh orang lain.
Firman Allah:
“Hai orang-orang
yang beriman, hendaklah kamu menjadi
orang- orang yang selalu menegakkan (keadilan) karena Allah menjadi
saksi dengan adil dan
janganlah sekali-kali kebencian
terhadap kaum mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil.
Berlakulah adail karena adil itu lebih dekat dengan taqwa”
c.
Prinsip Persamaan
Firman Allah:
“
Hai manusia ! Kami ciptakan kamu dari laki-laki dn
perempuan. Kami jadikankamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya
saling mengenal. Sungguh
yang paling mulia diantara kamu
bagi Allah ialah yang paling takwa diantara kamu”. (
Qs. Al-Hujurat : 13 )
d.
Prinsip keadilan
Keadilan
merupakan prinsip dasar ideologi Islam. Pelaksanaan keadilan tidak boleh berat
sebelah, tanpa membeda-bedakan status sosial seseorang, kekayaan, kelas, ras,
pengaruh politik, ataupun keyakinan agama.[25]
IV.
Kesimpulan
Islam
V.
Penutup
Sekian
[2] M. Quraish Shihab, Membumikan
Al-Qur’an, ( Bandung : MIZAN,1996 ), hlm. 123-124
[3]Abdul Ghofur, Demokratisasi dan Prospek
Hukum Islam di Indonesia, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002 ), hlm. 85
[4]
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001) , hlm. 50
[5] Omar Mohammad Al-Toumy Al- Syaibany, Falsafah
Pendidikan Islam,( Jakarta: Bulan Bintang, 1979 ), hlm. 136
[6] Zakiyah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (
Jakarta: Bumi Aksara, 1992 ), hlm. 166
[7] M. Quraish Shihab, Membumikan
Al-Qur’an, ( Bandung : MIZAN,1996 ), hlm. 156- 158
[8] Nurchalis Madjid, Islam Doktrin dan
Peradaban; Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan
Kemodernan, ( Jakarta :Yayasan Wakaf Paramadina, 1995 ), hlm. 295
[9] Abdul Munir Mulkhan, Ideologisasi Gerakan
Dakwah, ( Yokyakarta : Sipress,1996 ), hlm.98
[10] Aunur Rahim Faqih, Bimbingan dan Konseling
Dalam Islam, ( Yogyakarta : UII Press, 2001 ), hlm. 17 -18.
[11] Abdul Munir Mulkhan, Ideologisasi Gerakan
Dakwah, ( Yokyakarta : Sipress,1996 ), hlm 100
[12] Depag RI, Alqur’an dan Terjemahnya, (
Semarang : Kumudasmoro Grafindo,1994 ), hlm. 862.
[13] Abdul Ghofur, Demokratisasi dan Prospek
Hukum Islam di Indonesia,, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002 ), hlm. 15
[14] Abdul Munir Mulkhan, Ideologisasi Gerakan
Dakwah, ( Yokyakarta : Sipress,1996 ), hlm 151
[15] Abdul-Ghany bin Muhammad Ar-Rahhal, Fenomena
Demokrai, Studi Analisis Perpolitikan Dunia Islam, terj. Khatur Suhardi, (
Jakarta : DeA Press, 2000 ), hlm. 25
[16] Abdul Ghofur, Demokratisasi dan Prospek
Hukum Islam di Indonesia, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002 ), hlm.
21-22
[17] Abdul Munir Mulkhan, Ideologisasi Gerakan
Dakwah, ( Yokyakarta : Sipress,1996 ), hlm 125
[18] Mariam Budiardjo, Dasa-dasar Ilmu Politik
( Jakarta : Gramedia, 1993 ) hlm. 62-64
[19] Bernard Lewis, Islam Liberalisme Demokrasi
Membangun Sinerji Warisan Sejarah, terj. Mun’im A. Sirry, ( Jakarta:
Paramadina, 2002 ) hlm. 132
[20] Abdul Munir Mulkhan, Ideologisasi Gerakan
Dakwah, ( Yokyakarta : Sipress,1996 ), hlm 132
[21] Abdul Ghofur, Demokratisasi dan Prospek
Hukum Islam di Indonesia, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002 ), hlm.42-43
[22] Ahmad Amir Aziz, Neo Modernisme Islam di
Indonesia; Gagasan sentral Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid, (Jakarta
: Rineka Cipta, 1999), hlm. 67
[23] Bernard Lewis, Islam Liberalisme Demokrasi
Membangun Sinerji Warisan sejarah, terj. Mun’im A. Sirry, ( Jakarta:
Paramadina, 2002 ), hlm. 133
[24] Muhammad Al-Buraey, Islam, Landasan
Alternatif Administrasi Pembangunan, terj. Achmad Nashir Budiman, (Jakarta:
Rajawali 1986 ), Hlm. 82
[25] Muhammad Al-Buraey, Islam: Landasan
Alternatif Administrasi Pembangunan, terj. Achmad Nashir Budiman, (Jakarta:
Rajawali 1986 ), hlm. 86
(0) Comments
Leave a Response